Jumat, 08 September 2017

Dahulukan kebutuhan atau Keinginan



Setiap hari manusia dihadapkan oleh kebutuhan namun pada sisi lain itu hanyalah bentuk keinginan semata didorong kuat orang nafsu dan ambisi. Pada dasarnya manusia sangat membutuhkan segala bentuk kebutuhan, seiring dengan perubahan waktu akan semakin banyak pula kebutuhan yang manusia butuhkan.

Berdasarnya intensitas kebutuhan manusia umumnya terbagi atas 3 (tiga) yakni: primer, sekunder, dan tersier. Kebutuhan yang manusia perlukan dahulu berubah secara drastis di masa depan, penulis contohkan yakni seperti ini: Bila di masa kakek atau tetua kita dulu, kebutuhan pengadaan listrik dan air adalah kebutuhan sekunder dan kendaraan adalah kebutuhan tersier. 

Kini semua kebutuhan di atas malah sudah menjadi kebutuhan primer. Malah sekarang kebutuhan sekunder yakni punya mobil, ada koneksi wi-fi di rumah dan kebutuhan tersier yakni punya Pesawat Ulang Alik NASA.

Apakah kebutuhan dan keinginan sama, mana yang lebih didahulukan?
Kebutuhan lahir saat manusia sangat butuh untuk kelangsungan hidupnya sedangkan keinginan adalah hasrat yang lain saat kebutuhan telah terpenuhi tapi ingin sesuatu yang lebih.

Pengen punya MacBook Pro Retina Display 15’ yang harga puluhan juta tapi penggunaan semata untuk buat buat tugas di Microsoft Office serta main game Zuma dan Soliter. Kebutuhan seperti itu, laptop dengan harga 3 Juta-an saja sudah lebih dari cukup. Duh... keinginan sudah menggerogoti pikiran kita.

Sering banget orang zaman tempo dulu membandingkan apa yang lakukan dulu dengan hal sekarang, misalnya:
Dulu nenek pergi ke sekolah jalan kaki berpuluh kilometer untuk ke pasar, namun kini kalian ke simpang beli kemiri aja ngeluh.

Memang sih, semakin zaman berganti rasa gengsi dan pamer buat segala keinginan menjadi kebutuhan

Manusia modern kini penuh keglamoran yang setiap saat ditayangkan oleh media visual hingga mempengaruhi trend yang berkembang pada masyarakat. Banyak manusia yang butuh pengakuan bahwa dirinya terlihat hebat, kaya, dan masyhur sehingga mengorbankan kebutuhan untuk secercah keinginan.

Mendahulukan kebutuhan lebih utama dan apabila segala kebutuhan telah terwujud ada kalanya keinginan baru dipertimbangkan sebagai kebutuhan

Dengan banyaknya sosial media membuat perang pamer dimulai, dari tempat yang eksotik, tempat mewah, gadget mewah dan benda lainnya. Semua perlu modal yang ngga sedikit, pergi ke tempat makan mewah yang biaya makannya buat kantong jebol, ah ngga apa-apa, biar dibilang teman-teman tajir, dan hasrat pamer terpenuhi. Beli gadget mewah dan mahal, cuma sosial media doang atau notifikasi dari operator. Sungguh hmm banget dah!!!

Bila penemu teknologi tempo dulu hidup kembali, pasti mereka kecewa berat telah menciptakan teknologi terkemuka. Mereka mengira teknologi yang diciptakan bisa memudahkan manusia di masa depan, akan tetapi manusia dari masa depan malah menganggap teknologi terbaru yang mereka miliki sebagai bahan pamer dengan manusia lain yang ngga mampu beli.

Hidup mementingkan keinginan membuat pikiran kita jadi beban dengan keinginan yang lain yang belum terpenuh, sebagai contoh. Banyak orang yang rela memenuhi keinginan beli barang-barang mahal dan mengorbankan kebutuhan wajib.

Misalnya begini: beli sepatu, baju mahal padahal stok di lemari masih banyak hingga mengorbankan gizi buat makan-makanan sehat. Akibatnya uang saku atau gaji menipis membuat sisa bulan hanya bertahan hidup bermodalkan dengan makan Internet (Indomie Telor Kornet). 

Keinginan itu sebenarnya baik tapi bila tidak mendahului kebutuhan sudah termasuk kebiasaan yang menjerumus ke arah sifat pamer 

Dalam merajut cinta pun banyak manusia yang gamang karena kriteria yang dia buat untuk pujaan hatinya. Kadang dia sadar saat pilihan yang terbaik selalu saja terjadi pemberontakan besar dalam jiwa dan memilih mementingkan keinginan. Ingin menyari yang cantik/tampan, kaya, baik, pintar dan tinggi.

Kriteria itu sudah termasuk pada keinginan dan melupakan bahwa kebutuhan yang manusia butuhkan adalah pasangan yang mau dengan kamu dan bila ada seperti kriteria di atas, itu bonus yang wajib kamu syukuri. Menyesal di ujung karena kriteria berdasarkan keinginan ngga menjamin tetapi kriteria berdasarkan kebutuhan adalah jaminan. So... pilih yang mana?
Apa sajakah yang buat kita harus mendahulukan kebutuhan di atas keinginan yakni:

1.        Sadar Diri dan Kondisi
Hidup akan aman-aman saja bila besar tiang dari pasak bila besar pasak dari tiang, siap-siap sajalah ngutang sana-sini. Bila ngga sanggup bayar, siap-siap dikejar-kejar rentenir yang minta bayaran dengan bunga se-gunung. Keuangan sehat lebih keren daripada terlihat punya segalanya tapi itu semua berlandaskan dari hasil hutang atau minjam punya orang lain untuk memenuhi hasrat pamer.

Keinginan yang sangat besar membuat banyak manusia yang ngga sadar diri bahwa dia ngga mampu dan mengaburkan segala kebutuhan

Kondisi mau punya mobil tapi sadari diri ternyata harus nyicil sangat lama dan lebih parahnya lagi tempat tinggal kamu sulit buat masuk mobil karena tinggal di gang atau beli mobil tapi parkirnya malah di jalan.

Kondisi yang membuat tetangga kamu iri, ada baiknya sadar diri, toh dibandingkan memenuhi keinginan ada baiknya kelebihan rezeki yang kamu miliki bisa menolong tetangga yang kesusahan. Pahala dapat dan hati jadi tenteram karena saling membantu sesama.

2.        Banyak Bersyukur
Para koruptor dan pencuri yang berhasil diciduk atau ditangkap petugas selalu modusnya berbeda tapi alasannya sama yakni kekurangan finansial. Niat mereka melakukan tindakan karena didasarkan kurangnya rasa syukur ada yang sudah dimiliki. Sebagai merasa tak pernah cukup segala rezeki yang telah diberikan, banyak orang yang rela mencomot hak dan rezeki dengan cara-cara ngga halal.

Penyebab pertama orang rela melakukan korupsi karena tuntutan hidup yang begitu tinggi, tekanan dari diri sendiri, keluarga, merasa telah ada di puncak dan rasa ngga pernah puas (read: ngga bersyukur).

Rezeki manusia itu ibarat sebuah pohon besar yang daun dan buahnya bisa diraih atau berjatuhan di tanah. Dan semua yang berbuah bisa saja kita petik dengan mudah karena rezeki itu ngga bakalan ketukar ibarat judul film yang kejar rating.

Bila ingin rezeki bertambah ada cara yang benar misalnya dengan sekolah lagi, naik pangkat, dipercaya atasan hingga karier gemilang. Ibaratnya kita perlu punya tangga atau memanjat agar rezeki yang agak tinggi dengan usaha yang benar pula. Atau bisa dibilang ada rezeki yang cuma menunggu bola dan ada pula yang harus turun menjemput bola. 


Bila manusia mau bersyukur atas yang telah didapatkan malahan Allah menambah segala kekurangan dari jalan-jalan yang manusia ngga bisa perkirakan. Misalnya punya usaha, usahanya berjalan sukses atau kariernya lancar tanpa hambatan.

Bila semua orang punya cita-cita dan harapan tapi saat semua jadi ambisi itu adalah  pertautan buruk yang menghalalkan segala cara

Apakah cita-cita, harapan dan ambisi itu sama?

Dalam paradoks hidup, cita-cita itu adalah rasa keinginan yang bersungguh-sungguh pada yang kamu cita-cita, misalnya dulu pengen bange jadi pilot. Takdir berkata lain hingga kamu hanya jadi Cleaning Service di bandara. Walaupun tidak sampai ke tingkat jadi pilot, namun kamu setiap hari bisa melihat pesawat Take Off dan Landing. Bila ada orang yang bertanya kamu kerja di mana? dengan sedikit bangga: saya bekerja di bagian penerbangan. *Alasan yang bagus*

Harapan hampir sama dengan cita-cita, cuma harapan terjadi karena keinginan yang sudah maksimal kamu lakukan dan memohon supaya yang ia inginkan bisa terkabul. Misalnya begini, seorang sales harus bisa menjual produk yang perusahaan tawarkan dengan jumlah tertentu, tapi setelah usaha begitu maksimal hasilnya masih di bawah ekspektasi. Resiko si sales ngga dapat bonus dan bisa-bisa kehilangan pekerjaan.

Ambisi adalah keinginan besar yang dilakukan agar tujuannya tercapai dengan cara apapun, ini sifatnya baik buat melakukan hal yang bermanfaat untuk masyarakat.

Misalnya mega bintang sepak bola sebuah klub ingin mencetak 50 gol dalam semusim, sisi positifnya pemain lain termotivasi meraih kemenangan dan mencetak gol tapi sisi negatifnya buat si mega bintang jadi sangat egois saat memanfaatkan segala peluang dan mementingkan golnya pribadi bukan gelar untuk tim.

Pada sisi tertentu ambisi itu perlu tapi di sisi lain ambisi dianggap terlalu berhasrat dengan tujuanmu hingga melupakan yang bukan tujuanmu

Jadi ada baiknya syukur diberdayakan, toh banyak orang lain yang ingin menjadi seperti diri kita namun kita malah ingin jadi orang lain. Makanya dengan bersyukur kita sadar yang kita punya jadi acuan yang sekarang dimiliki itu cukup. Well... materi itu tanpa batas tapi syukur membatasi bahwa ukuran materi bukan patokan.

3.        Jangan Memaksakan Diri
Sebenarnya semua kita berkecukupan tapi karena ngga bersyukur dan mau lebih sehingga segala pencapaian yang didapatkan selama ini terlihat kurang. Saat itulah dalam benak hati muncul sifat ambisi yang menggebu-gebu. Akhir-akhir ini kita sering banget melihat berita di televisi para buruh melakukan aksi dan demo lebih sering disertai Long March yang bikin macet panjang di Bundaran HI.

Tujuannya tahu untuk apa? Yakni meminta tuntutan kenaikan gaji yang mereka rasa ngga cukup hingga buat pengusaha yang mempekerjakan mereka pusing. Sudah kerja ngga masuk hingga produksi terganggu dan melakukan unjuk rasa yang merugikan banyak pihak.

Banyak pada saat itu orang yang punya pekerjaan tetap tapi kemampuan mereka pas-pasan, sedangkan banyak pengangguran bertitel sarjana dan punya kemampuan mumpuni malah nganggur atau yang sudah bekerja digaji di bawah UMR, namun mereka bersyukur apa adanya.

Keinginan muncul dari hasrat dan  rasa ingin dipuji serta bisa terlihat keren. Apapun dilakukan agar keinginan tercapai walaupun setelah keinginan didapatkan malah kecewa atau susah sendiri misalnya beli mobil mahal-mahal tapi bisa buat ngisi bensin dan saat bayar pajak langsung kelabakan.

Banyak orang yang secara material kurang tapi kenapa mereka hidup mereka sangat bahagia, dan saat penulis tanyakan jawaban sederhana mereka yakni tidak memaksa kehendak, hidup sederhana serta perbanyak syukur.

Bila melihat orang lain bahagia kamu malah ikutan bahagia bukan sebaliknya. Esensi kebutuhan semua kembali pada rasa nyaman, bukan merasa pura-pura nyaman di atas keinginan.