Suku dalam tatanan Masyarakat Minangkabau merupakan basis dari organisasi sosial, sekaligus tempat pertarungan kekuasaan yang fundamental. Pengertian awal kata
suku dalam
Bahasa Minang dapat bermaksud
satu per-empat, sehingga jika dikaitkan dengan pendirian suatu
nagari di
Minangkabau, dapat dikatakan sempurna apabila telah terdiri dari komposisi empat suku yang mendiami kawasan tersebut. Selanjutnya, setiap suku dalam tradisi Minang, diurut dari garis keturunan yang sama dari pihak ibu, dan diyakini berasal dari satu keturunan nenek moyang yang sama.
[6]Selain sebagai basis politik, suku juga merupakan basis dari unit-unit ekonomi. Kekayaan ditentukan oleh kepemilikan tanah keluarga, harta, dan sumber-sumber pemasukan lainnya yang semuanya itu dikenal sebagai harta pusaka. Harta pusaka merupakan harta milik bersama dari seluruh anggota kaum-keluarga. Harta pusaka tidak dapat diperjualbelikan dan tidak dapat menjadi milik pribadi. Harta pusaka semacam dana jaminan bersama untuk melindungi anggota kaum-keluarga dari kemiskinan. Jika ada anggota keluarga yang mengalami kesulitan atau tertimpa musibah, maka harta pusaka dapat digadaikan.
Suku terbagi-bagi ke dalam beberapa cabang keluarga yang lebih kecil atau disebut
payuang (payung). Adapun unit yang paling kecil setelah
sapayuang disebut
saparuik. Sebuah
paruik (perut) biasanya tinggal pada sebuah
rumah gadang secara bersama-sama.
[31]Pakaian khas suku Minangkabau di tahun 1900-an
Artikel utama untuk bagian ini adalah:
NagariDaerah Minangkabau terdiri atas banyak
nagari. Nagari ini merupakan daerah otonom dengan kekuasaan tertinggi di Minangkabau. Tidak ada kekuasaan sosial dan politik lainnya yang dapat mencampuri
adat di sebuah nagari. Nagari yang berbeda akan mungkin sekali mempunyai tipikal
adat yang berbeda. Tiap nagari dipimpin oleh sebuah dewan yang terdiri dari pemimpin suku dari semua suku yang ada di nagari tersebut. Dewan ini disebut dengan
Kerapatan Adat Nagari (KAN). Dari hasil musyawarah dan mufakat dalam dewan inilah sebuah keputusan dan peraturan yang mengikat untuk nagari itu dihasilkan.
Faktor utama yang menentukan dinamika masyarakat Minangkabau adalah terdapatnya kompetisi yang konstan antar nagari, kaum-keluarga, dan individu untuk mendapatkan status dan prestise.
[32] Oleh karenanya setiap kepala kaum akan berlomba-lomba meningkatkan prestise kaum-keluarganya dengan mencari kekayaan (berdagang) serta menyekolahkan anggota kaum ke tingkat yang paling tinggi.
Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah yang ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu
Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan
Taratak, kemudian berkembang menjadi
Dusun, kemudian berkembang menjadi
Koto dan kemudian berkembang menjadi
Nagari. Biasanya setiap nagari yang dibentuk minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut.
[6]Penghulu atau biasa yang digelari dengan
datuk, merupakan kepala kaum keluarga yang diangkat oleh anggota keluarga untuk mengatur semua permasalahan kaum. Penghulu biasanya seorang laki-laki yang terpilih di antara anggota kaum laki-laki lainnya. Setiap kaum-keluarga akan memilih seorang laki-laki yang pandai berbicara, bijaksana, dan memahami adat, untuk menduduki posisi ini. Hal ini dikarenakan ia bertanggung jawab mengurusi semua harta pusaka kaum, membimbing kemenakan, serta sebagai wakil kaum dalam masyarakat nagari. Setiap penghulu berdiri sejajar dengan penghulu lainnya, sehingga dalam rapat-rapat nagari semua suara penghulu yang mewakili setiap kaum bernilai sama.
Seiring dengan bertambahnya anggota kaum, serta permasalahan dan konflik intern yang timbul, maka kadang-kadang dalam sebuah keluarga posisi kepenghuluan ini dipecah menjadi dua. Atau sebaliknya, anggota kaum yang semakin sedikit jumlahnya, cenderung akan menggabungkan gelar kepenghuluannya kepada keluarga lainnya yang sesuku.
[33] Hal ini mengakibatkan berubah-ubahnya jumlah penghulu dalam suatu nagari.
Memiliki penghulu yang mewakili suara kaum dalam rapat nagari, merupakan suatu prestise dan harga diri. Sehingga setiap kaum akan berusaha sekuatnya memiliki penghulu sendiri. Kaum-keluarga yang gelar kepenghuluannya sudah lama terlipat, akan berusaha membangkitkan kembali posisinya dengan mencari kekayaan untuk "membeli" gelar penghulunya yang telah lama terbenam. Bertegak penghulu memakan biaya cukup besar, sehingga tekanan untuk menegakkan penghulu selalu muncul dari keluarga kaya.
[34]Istano Pagaruyung sebuah legitimasi institusi kerajaan pada suku Minangkabau
Dalam laporan
de Stuers[35] kepada pemerintah
Hindia-Belanda, dinyatakan bahwa di daerah pedalaman Minangkabau, tidak pernah ada suatu kekuasaan pemerintahan terpusat dibawah seorang
raja. Tetapi yang ada adalah nagari-nagari kecil yang mirip dengan pemerintahan polis-polis pada masa
Yunani kuno.
[36] Namun dari beberapa
prasasti yang ditemukan pada kawasan pedalaman Minangkabau, serta dari
tambo yang ada pada masyarakat setempat, etnis Minangkabau pernah berada dalam suatu sistem kerajaan yang kuat dengan daerah kekuasaan meliputi pulau Sumatera dan bahkan sampai
semenanjung Malaya. Beberapa kerajaaan yang ada di wilayah Minangkabau antara lain
Kerajaan Dharmasraya,
Kerajaan Pagaruyung, dan
Kerajaan Inderapura.
[sunting]Minangkabau perantauan
Minangkabau perantauan merupakan istilah untuk orang Minang yang hidup di luar provinsi
Sumatera Barat,
Indonesia. Merantau merupakan proses interaksi masyarakat Minangkabau dengan dunia luar. Kegiatan ini merupakan sebuah petualangan pengalaman dan geografis, dengan meninggalkan kampung halaman untuk mengadu nasib di negeri orang. Keluarga yang telah lama memiliki tradisi merantau, biasanya mempunyai saudara di hampir semua kota utama di Indonesia dan Malaysia. Keluarga yang paling kuat dalam mengembangkan tradisi merantau biasanya datang dari keluarga pedagang-pengrajin dan penuntut ilmu agama.
[37]Para perantau biasanya telah pergi merantau sejak usia belasan tahun, baik sebagai pedagang ataupun penuntut ilmu. Bagi sebagian besar masyarakat Minangkabau, merantau merupakan sebuah cara yang ideal untuk mencapai kematangan dan kesuksesan. Dengan merantau tidak hanya harta kekayaan dan ilmu pengetahuan yang didapat, namun juga prestise dan kehormatan individu di tengah-tengah lingkungan adat.
Dari pencarian yang diperoleh, para perantau biasanya mengirimkan sebagian hasilnya ke kampung halaman untuk kemudian diinvestasikan dalam usaha keluarga, yakni dengan memperluas kepemilikan sawah, memegang kendali pengolahan lahan, atau menjemput sawah-sawah yang tergadai. Uang dari para perantau biasanya juga dipergunakan untuk memperbaiki sarana-sarana nagari, seperti mesjid, jalan, ataupun pematang sawah.
[sunting]Jumlah perantau
Etos merantau orang Minangkabau sangatlah tinggi, bahkan diperkirakan tertinggi di Indonesia. Dari hasil studi yang pernah dilakukan oleh
Mochtar Naim, pada tahun
1961 terdapat sekitar 32 % orang Minang yang berdomisili di luar Sumatera Barat. Kemudian pada tahun
1971jumlah itu meningkat menjadi 44 %.
[38] Berdasarkan sensus tahun
2000, etnis Minang yang tinggal di Sumatera Barat berjumlah 3,7 juta jiwa, dengan perkiraan hampir sepertiga orang Minang berada di perantauan.
[1] Mobilitas migrasi orang Minangkabau dengan proporsi besar terjadi dalam rentang antara tahun
1958 sampai tahun
1978, dimana lebih 80 % perantau yang tinggal di kawasan rantau telah meninggalkan kampung halamannya setelah masa kolonial
Belanda.
[39] Melihat data tersebut, maka terdapat perubahan cukup besar pada etos merantau orang Minangkabau dibanding suku lainnya di Indonesia. Sebab menurut sensus tahun
1930, perantau Minangkabau hanya sebesar 10,5 % dibawah orang
Bawean (35,9 %),
Batak (14,3 %), dan
Banjar (14,2 %).
Namun tidak terdapat angka pasti mengenai jumlah orang Minang di perantauan. Angka-angka yang ditampilkan dalam perhitungan, biasanya hanya memasukkan para perantau kelahiran Sumatera Barat. Namun belum mencakup keturunan-keturunan Minang yang telah beberapa generasi menetap di perantauan.
[sunting]Gelombang rantau
Merantau pada etnis Minang telah berlangsung cukup lama. Sejarah mencatat
migrasi pertama terjadi pada abad ke-7, di mana banyak pedagang-pedagang emas yang berasal dari pedalaman Minangkabau melakukan perdagangan di muara
Jambi, dan terlibat dalam pembentukan
Kerajaan Malayu.
[40] Migrasi besar-besaran terjadi pada abad ke-14, dimana banyak keluarga Minang yang berpindah ke pesisir timur Sumatera. Mereka mendirikan koloni-koloni dagang di
Batubara,
Pelalawan, hingga melintasi selat ke
Penang dan
Negeri Sembilan,
Malaysia. Bersamaan dengan gelombang migrasi ke arah timur, juga terjadi perpindahan masyarakat Minang ke pesisir barat Sumatera. Di sepanjang pesisir ini perantau Minang banyak bermukim di
Meulaboh,
Aceh tempat keturunan Minang dikenal dengan sebutan
Aneuk Jamee,
Barus, hingga
Bengkulu.
[41] Setelah
Kesultanan Malaka jatuh ke tangan
Portugis pada tahun 1511, banyak keluarga Minangkabau yang berpindah ke
Sulawesi Selatan. Mereka menjadi pendukung
kerajaan Gowa, sebagai pedagang dan administratur kerajaan. Datuk Makotta bersama istrinya Tuan Sitti, sebagai cikal bakal keluarga Minangkabau di Sulawesi.
[42] Gelombang migrasi berikutnya terjadi pada abad ke-18, yaitu ketika Minangkabau mendapatkan hak istimewa untuk mendiami kawasan
Kerajaan Siak.
Pada masa penjajahan Hindia-Belanda, migrasi besar-besaran kembali terjadi pada tahun
1920, ketika perkebunan
tembakau di
Deli Serdang,
Sumatera Timur mulai dibuka. Pada masa kemerdekaan, Minang perantauan banyak mendiami kota-kota besar di
Jawa, pada tahun
1961 jumlah perantau Minang terutama di kota Jakarta meningkat 18,7 kali dibandingkan dengan tingkat pertambahan penduduk kota itu yang hanya 3,7 kali,
[43] dan pada tahun
1971 etnis ini diperkirakan telah berjumlah sekitar 10 % dari jumlah penduduk Jakarta waktu itu.
[44] Kini Minang perantauan hampir tersebar di seluruh dunia.
[sunting]Perantauan intelektual
Selain ke Timur Tengah, pelajar Minangkabau juga banyak yang merantau ke
Eropa. Mereka antara lain
Abdoel Rivai,
Mohammad Hatta,
Sutan Syahrir,
Roestam Effendi, dan Nazir Pamuntjak. Intelektual lain,
Tan Malaka, hidup mengembara di delapan negara Eropa dan Asia, membangun jaringan pergerakan kemerdekaan Asia. Semua pelajar Minang tersebut, yang merantau ke Eropa sejak akhir abad ke-19, menjadi pejuang kemerdekaan dan pendiri Republik Indonesia.
[45][sunting]Sebab merantau
[sunting]Faktor budaya
Ada banyak penjelasan terhadap fenomena ini, salah satu penyebabnya ialah sistem kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini, penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum perempuan sedangkan hak kaum pria dalam hal ini cukup kecil. Selain itu, setelah masa akil baligh para pemuda tidak lagi dapat tidur di rumah orang tuanya, karena rumah hanya diperuntukkan untuk kaum perempuan beserta suaminya, dan anak-anak.
Para perantau yang pulang ke kampung halaman, biasanya akan menceritakan pengalaman merantau kepada anak-anak kampung. Daya tarik kehidupan para perantau inilah yang sangat berpengaruh di kalangan masyarakat Minangkabau sedari kecil. Siapa pun yang tidak pernah mencoba pergi merantau, maka ia akan selalu diperolok-olok oleh teman-temannya.
[33] Hal inilah yang menyebabkan kaum pria Minang memilih untuk merantau. Kini wanita Minangkabau pun sudah lazim merantau. Tidak hanya karena alasan ikut suami, tapi juga karena ingin berdagang, meniti karier dan melanjutkan pendidikan.
Menurut
Rudolf Mrazek, sosiolog
Belanda, dua tipologi budaya Minang, yakni dinamisme dan anti-parokialisme melahirkan jiwa merdeka, kosmopolitan, egaliter, dan berpandangan luas, hal ini menyebabkan tertanamnya budaya merantau pada masyarakat Minangkabau.
[46]Semangat untuk mengubah nasib dengan mengejar ilmu dan kekayaan, serta pepatah Minang yang mengatakan
Karatau madang dahulu, babuah babungo alun, marantau bujang dahulu, di rumah paguno balun (lebih baik pergi merantau karena dikampung belum berguna) mengakibatkan pemuda Minang untuk pergi merantau sedari muda.
[sunting]Faktor ekonomi
Penjelasan lain adalah pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah. Jika dulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber utama tempat mereka hidup dapat menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam yang menjadi penghasilan utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi kebutuhan bersama, karena harus dibagi dengan beberapa keluarga. Selain itu adalah tumbuhnya kesempatan baru dengan dibukanya daerah perkebunan dan pertambangan. Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang Minang pergi merantau mengadu nasib di negeri orang. Untuk kedatangan pertamanya ke tanah rantau, biasanya para perantau menetap terlebih dahulu di rumah
dunsanak yang dianggap sebagai induk semang. Para perantau baru ini biasanya berprofesi sebagai pedagang kecil.
Selain itu, perekonomian masyarakat Minangkabau sejak dahulunya telah ditopang oleh kemampuan berdagang, terutama untuk mendistribusikan hasil bumi mereka. Kawasan pedalaman Minangkabau, secara
geologis memiliki cadangan bahan baku terutama
emas,
tembaga,
timah,
seng,
merkuri, dan
besi, semua bahan tersebut telah mampu diolah oleh mereka.
[47] Sehingga julukan
suvarnadvipa(pulau emas) yang muncul pada cerita legenda di
India sebelum Masehi, kemungkinan dirujuk untuk pulau Sumatera karena hal ini.
[48] Pedagang dari
Arab pada abad ke-9, telah melaporkan bahwa masyarakat di pulau Sumatera telah menggunakan sejumlah emas dalam perdagangannya. Kemudian dilanjutkan pada abad ke-13 diketahui ada raja di Sumatera yang menggunakan mahkota dari emas.
Tomé Pires sekitar abad ke-16 menyebutkan, bahwa emas yang diperdagangangkan di Malaka, Panchur (Barus), Tico (Tiku) dan Priaman (Pariaman), berasal dari kawasan pedalaman Minangkabau. Disebutkan juga kawasan Indragiri pada sehiliran
Batang Kuantan di pesisir timur Sumatera, merupakan pusat pelabuhan dari raja Minangkabau.
[49] Dalam prasasti yang ditinggalkan oleh
Adityawarman disebut bahwa dia adalah penguasa bumi emas. Hal inilah menjadi salah satu penyebab, mendorong
Belandamembangun pelabuhan di
Padang[50] dan sampai pada abad ke-17 Belanda masih menyebut
yang menguasai emas kepada raja
Pagaruyung.
[51] Kemudian meminta Thomas Diaz untuk menyelidiki hal tersebut, dari laporannya dia memasuki pedalaman Minangkabau dari pesisir timur Sumatera dan dia berhasil menjumpai salah seorang raja Minangkabau waktu itu (Rajo Buo), dan raja itu menyebutkan bahwa salah satu pekerjaan masyarakatnya adalah pendulang emas.
[52] Sementara itu dari catatan para geologi Belanda, pada sehiliran
Batanghari dijumpai 42 tempat bekas penambangan emas dengan kedalaman mencapai 60 m serta di
Kerinci waktu itu, mereka masih menjumpai para pendulang emas.
[53] Sampai abad ke-19, legenda akan kandungan emas pedalaman Minangkabau, masih mendorong
Raffles untuk membuktikannya, sehingga dia tercatat sebagai orang Eropa pertama yang berhasil mencapai
Pagaruyung melalui pesisir barat Sumatera.
[54][sunting]Faktor perang
Beberapa peperangan juga menimbulkan gelombang perpindahan masyarakat Minangkabau terutama dari daerah konflik, setelah
perang Padri,
[55] muncul pemberontakan di Batipuh menentang tanam paksa Belanda, disusul pemberontakan
Siti Manggopoh menentang
Belasting dan pemberontakan komunis tahun
1926-
1927.
[56] Setelah kemerdekaan muncul
PRRI yang juga menyebabkan timbulnya eksodus besar-besaran masyarakat Minangkabau ke daerah lain.
[44] Dari beberapa perlawanan dan peperangan ini, memperlihatkan karakter masyarakat Minang yang tidak menyukai penindasan. Mereka akan melakukan perlawanan dengan kekuatan fisik, namun jika tidak mampu mereka lebih memilih pergi meninggalkan kampung halaman (merantau).
Orang Sakai berdasarkan cerita turun temurun dari para tetuanya menyebutkan bahwa mereka berasal dari Pagaruyung.
[57] Orang Kubu menyebut bahwa orang dari Pagaruyung adalah saudara mereka. Kemungkinan masyarakat terasing ini termasuk masyarakat Minang yang melakukan resistansi dengan meninggalkan kampung halaman mereka karena tidak mau menerima perubahan yang terjadi di negeri mereka.
De Stuers sebelumnya juga melaporkan bahwa masyarakat
Padangsche Bovenlanden sangat berbeda dengan masyarakat di Jawa, di Pagaruyung ia menyaksikan masyarakat setempat begitu percaya diri dan tidak minder dengan orang Eropa. Ia merasakan sendiri, penduduk lokal lalu lalang begitu saja dihadapannya tanpa ia mendapatkan perlakuan istimewa, malah ada penduduk lokal meminta rokoknya, serta meminta ia menyulutkan api untuk rokok tersebut.
[35][sunting]Merantau dalam sastra
Fenomena merantau dalam masyarakat Minangkabau, ternyata sering menjadi sumber inspirasi bagi para pekerja seni, terutama sastrawan.
Hamka, dalam novelnya
Merantau ke Deli, bercerita tentang pengalaman hidup perantau Minang yang pergi ke
Deli dan menikah dengan perempuan Jawa. Novelnya yang lain
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck juga bercerita tentang kisah anak perantau Minang yang pulang kampung. Di kampung, ia menghadapi kendala oleh masyarakat adat Minang yang merupakan
induk bakonya sendiri. Selain novel karya Hamka, novel karya
Marah Rusli,
Siti Nurbaya dan
Salah Asuhannya
Abdul Muis juga menceritakan kisah perantau Minang. Dalam novel-novel tersebut, dikisahkan mengenai persinggungan pemuda perantau Minang dengan adat budaya Barat. Novel
Negeri 5 Menara karya
Ahmad Fuadi, mengisahkan perantau Minang yang belajar di pesantren Jawa dan akhirnya menjadi orang yang berhasil. Dalam bentuk yang berbeda, lewat karyanya yang berjudul
Kemarau,
A.A Navis mengajak masyarakat Minang untuk membangun kampung halamannya yang banyak di tinggal pergi merantau.
Novel yang bercerita tentang perantau Minang tersebut, biasanya berisi kritik sosial dari penulis kepada adat budaya Minang yang kolot dan tertinggal. Selain dalam bentuk novel, kisah perantau Minang juga dikisahkan dalam film
Merantau karya sutradara
Inggris,
Gareth Evans.
[sunting]Orang Minangkabau dan kiprahnya
Imam Bonjol, Mohammad Hatta, Sjahrir, Fahmi Idris
Orang Minang terkenal sebagai kelompok yang terpelajar, oleh sebab itu pula mereka menyebar di seluruh Indonesia bahkan manca-negara dalam berbagai macam profesi dan keahlian, antara lain sebagai politisi, penulis, ulama, pengajar, jurnalis, dan
pedagang. Berdasarkan jumlah populasi yang relatif kecil (2,7% dari penduduk Indonesia), Minangkabau merupakan salah satu suku tersukses dengan banyak pencapaian.
[39] Majalah Tempo dalam edisi khusus tahun 2000 mencatat bahwa 6 dari 10 tokoh penting Indonesia di abad ke-20 merupakan orang Minang.
[58] 3 dari 4 orang pendiri Republik Indonesia adalah putra-putra Minangkabau.
[59][60]Keberhasilan dan kesuksesan orang Minang banyak diraih ketika berada di perantauan. Sejak dulu mereka telah pergi merantau ke berbagai daerah di
Jawa,
Sulawesi,
semenanjung Malaysia,
Thailand,
Brunei, hingga
Philipina. Di tahun 1390, Raja Bagindo mendirikan
Kesultanan Sulu di Filipina selatan.
[61] Pada abad ke-14 orang Minang melakukan migrasi ke
Negeri Sembilan, Malaysia dan mengangkat raja untuk negeri baru tersebut dari kalangan mereka.
Raja Melewar merupakan raja pertama Negeri Sembilan yang diangkat pada tahun
1773. Di akhir abad ke-16, ulama Minangkabau Dato Ri Bandang, Dato Ri Patimang, dan Dato Ri Tiro, menyebarkan Islam di Indonesia timur dan mengislamkan
kerajaan Gowa. Setelah huru-hara pada
Kesultanan Johor, pada tahun 1723 putra
Pagaruyung yang bergelar
Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah I yang sebelumnya juga merupakan
Sultan Johor mendirikan
Kerajaan Siak di daratan Riau.
[62]Pada periode 1920 - 1960, banyak politisi Indonesia berpengaruh lahir dari ranah Minangkabau. Menjadi salah satu motor perjuangan kemerdekaan Asia, pada tahun 1923
Tan Malaka terpilih menjadi wakil
Komunis Internasional untuk wilayah Asia Tenggara. Politisi Minang lainnya
Muhammad Yamin, menjadi pelopor
Sumpah Pemuda yang mempersatukan seluruh rakyat
Hindia-Belanda. Di dalam
Volksraad, politisi asal Minang-lah yang paling vokal. Mereka antara lain
Jahja Datoek Kajo,
Agus Salim, dan Abdul Muis. Tokoh Minang lainnya
Mohammad Hatta, menjadi ko-proklamator kemerdekaan Indonesia. Setelah kemerdekaan, empat orang Minangkabau duduk sebagai perdana menteri (
Sutan Syahrir, Mohammad Hatta,
Abdul Halim,
Muhammad Natsir), seorang sebagai presiden (
Assaat), seorang sebagai wakil presiden (Mohammad Hatta), seorang menjadi pimpinan parlemen (
Chaerul Saleh), dan puluhan yang menjadi menteri, di antara yang cukup terkenal ialah
Azwar Anas,
Fahmi Idris, dan
Emil Salim. Emil bahkan menjadi orang Indonesia terlama yang duduk di kementerian RI. Minangkabau, salah satu dari dua etnis selain etnis
Jawa, yang selalu memiliki wakil dalam setiap kabinet pemerintahan Indonesia. Selain di pemerintahan, di masa
Demokrasi liberal parlemen Indonesia didominasi oleh politisi Minang. Mereka tergabung kedalam aneka macam partai dan ideologi, islamis, nasionalis, komunis, dan sosialis.
Beberapa partai politik Indonesia didirikan oleh politisi Minang. PARI dan
Murba didirikan oleh Tan Malaka,
Partai Sosialis Indonesia oleh Sutan Sjahrir, PNI Baru oleh Mohammad Hatta,
Masyumi oleh Mohammad Natsir,
Perti oleh
Sulaiman ar-Rasuli, dan
Permi oleh
Rasuna Said. Selain mendirikan partai politik, politisi Minang juga banyak menghasilkan buku-buku yang menjadi bacaan wajib para aktifis pergerakan. Buku-buku bacaan utama itu antara lain,
Naar de Republiek Indonesia,
Madilog, dan
Massa Actie karya Tan Malaka,
Alam Pikiran Yunani dan
Demokrasi Kita karya Hatta,
Fiqhud Dakwah dan
Capita Selecta karya Natsir, serta
Perjuangan Kita karya Sutan Sjahrir.
Penulis Minang banyak memengaruhi perkembangan bahasa dan sastra Indonesia. Mereka mengembangkan bahasa melalui berbagai macam karya tulis dan keahlian.
Marah Rusli,
Abdul Muis,
Idrus,
Hamka, dan
A.A Navis berkarya melalui penulisan novel.
Nur Sutan Iskandar novelis Minang lainnya, tercatat sebagai penulis novel Indonesia yang paling produktif.
Chairil Anwar dan
Taufik Ismail berkarya lewat penulisan puisi. Serta
Sutan Takdir Alisjahbana, novelis sekaligus ahli tata bahasa, melakukan modernisasi bahasa Indonesia sehingga bisa menjadi bahasa persatuan nasional. Novel-novel karya sastrawan Minang seperti
Siti Nurbaya,
Salah Asuhan,
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck,
Layar Terkembang, dan
Robohnya Surau Kami telah menjadi bahan bacaan wajib bagi siswa sekolah di Indonesia dan Malaysia.
Selain melalui karya sastra, pengembangan bahasa Indonesia banyak pula dilakukan oleh jurnalis Minang. Mereka antara lain
Djamaluddin Adinegoro,
Rosihan Anwar, dan
Ani Idrus. Di samping
Abdul Rivai yang dijuluki sebagai Perintis Pers Indonesia,
Rohana Kudus yang menerbitakan
Sunting Melayu, menjadi wartawan sekaligus pemilik koran wanita pertama di Indonesia.
Di Indonesia dan Malaysia, disamping orang
Tionghoa, orang Minang juga terkenal sebagai pengusaha ulung. Banyak pengusaha Minang sukses berbisnis di bidang perdagangan tekstil, rumah makan, perhotelan, pendidikan, dan rumah sakit. Di antara figur pengusaha sukses adalah,
Abdul Latief (pemilik
TV One),
Basrizal Koto (pemilik peternakan sapi terbesar di Asia Tenggara),
Hasyim Ning (pengusaha perakitan mobil pertama di Indonesia), dan
Tunku Tan Sri Abdullah (pemilik
Melewar Corporation Malaysia)
Banyak pula orang Minang yang sukses di dunia hiburan, baik sebagai sutradara, produser, penyanyi, maupun artis. Sebagai sutradara dan produser ada
Usmar Ismail,
Asrul Sani,
Djamaludin Malik, dan
Arizal. Arizal bahkan menjadi sutradara dan produser film yang paling banyak menghasilkan karya. Sekurang-kurangnya 52 film dan 8 sinetron dalam 1.196 episode telah dihasilkannya. Film-film karya sineas Minang, seperti
Lewat Djam Malam,
Gita Cinta dari SMA,
Naga Bonar,
Pintar Pintar Bodoh, dan
Maju Kena Mundur Kena, menjadi film terbaik yang banyak digemari penonton.
Pemeran dan penyanyi Minang yang terkenal beberapa di antaranya adalah
Ade Irawan,
Dorce Gamalama,
Eva Arnaz,
Nirina Zubir, dan
Titi Sjuman. Pekerja seni lainnya, ratu kuis
Ani Sumadi, menjadi pelopor dunia perkuisan di Indonesia. Karya-karya beliau seperti kuis
Berpacu Dalam Melodi,
Gita Remaja,
Siapa Dia, dan
Tak Tik Boom menjadi salah satu acara favorit keluarga Indonesia. Di samping mereka,
Soekarno M. Noerbeserta putranya
Rano Karno, mungkin menjadi pekerja hiburan paling sukses di Indonesia, baik sebagai aktor maupun sutradara film. Pada tahun 1993,
Karno's Film perusahaan film milik keluarga Soekarno, memproduksi film seri dengan peringkat tertinggi sepanjang sejarah perfilman Indonesia,
Si Doel Anak Sekolahan.
Di luar negeri, orang Minangkabau juga dikenal kontribusinya. Di Malaysia dan Singapura, antara lain
Tuanku Abdul Rahman (
Yang Dipertuan Agung pertama Malaysia),
Yusof bin Ishak (presiden pertama
Singapura),
Zubir Said (komposer lagu kebangsaan Singapura
Majulah Singapura),
Sheikh Muszaphar Shukor (astronot pertama Malaysia),
Tahir Jalaluddin Al-Azhari, dan
Adnan bin Saidi. Di negeri
Belanda,
Roestam Effendi yang mewakili Partai Komunis Belanda, menjadi satu-satunya orang Indonesia yang pernah duduk sebagai anggota parlemen.
[64] Di
Arab Saudi, hanya
Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, orang non-
Arab yang pernah menjadi imam besar
Masjidil Haram,
Mekkah.